Meresapi Makna 52 Tahun Pembangunan Kesehatan Indonesia dan Perjuangan Selanjutnya
Assalamualaikum 🙂 Sudah tahu belum, sebentar lagi adalah Hari Kesehatan Nasional yang diperingati setiap 12 November? Ingat Hari Kesehatan, saya jadi ingat tentang pencapaian bangsa kita dalam program kerjanya yang sudah merdeka tahun ini.
Pembangunan Indonesia, terutama di bidang kesehatan sangatlah luas bidang kerja yang harus dikerjakan. Tak ada puasnya, tak ada habisnya. Karena dari waktu ke waktu selalu muncul permasalahan-permasalahan baru. Sejak kapan pembangunan kesehatan dilaksanakan? Tentunya di era setelah Indonesia meraih kemerdekaannya.
Mari kita lihat sejarah masa lalu. Di era tahun 50-an Indonesia menghadapi wabah besar, yaitu penyakit malaria. Maka, dari masalah itu penanganan terkonsentrasi untuk menghadapi wabah malaria. Tahun demi tahun berjalan, muncul masalah baru tapi juga diikuti inovasi strategi penanganan masalah yang baru. Kita lihat diagram berikut.
Tahun 1959
Sudah disinggung sebelumnya, kita bangsa Indonesia pernah mengalami wabah di tahun 50-an. Wabah yang berat dan merata seluruh Indonesia, yakni Malaria. Penyakit yang dibawa oleh nyamuk ini mengakibatkan ratusan ribu orang meninggal. Pada tahun 1959 dibentuk Dinas Pembasmian Malaria, tentunya bertujuan untuk mengeliminasi wabah malaria. Malaria dibasmi dengan penyemprotan obat DTT di daerah Jawa, Bali, dan Lampung. Tanggal 12 November 1959, Presiden Soekarno melakukan penyemprotan malaria secara simbolis di Yogyakarta. Tanggal ini merupakan cikal bakal Hari Kesehatan Nasional.
Tahun 1963
Tepatnya pada Januari 1963, Dinas Pembasmian Malaria berubah menjadi Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM). Usaha memerangi malaria ini dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan WHO dan USAID.
Tahun 1964
Pada tanggal 12 November 1964 diputuskan sebagai Hari Kesehatan Nasional pertama. Hari ini merupakan momentum pendidikan dan penyuluh kesehatan.
Pelita I (1969-1974)
Pada tahun 1970, malaria ditargetkan hilang dari bumi Indonesia. Namun tak hanya malaria, saat itu muncul masalah angka kematian bayi yang besar. Setiap 1000 bayi lahir, ditemukan 125-150 yang meninggal sebelum umur 1 tahun setiap tahunnya. Namun di sisi lain, ada prestasi membanggakan mengenai penyakit cacar yang juga menjadi momok. Di era Pelita I ini ditemukan vaksin kering oleh Prof. Dr. Sardjito dan didistribusikan ke daerah tertentu di Indonesia. Hasilnya, pencacaran ini dibilang sukses.
Pelita II
Masalah kesehatan belum selesai. Pemerintah terus membangun kesehatan dalam hal sarana, tenaga pelayanan kesehatan, mengurangi penyakit, meningkatkan status gizi, memperbaiki sanitasi agar masyarakat hidup sehat sejahtera.
Pelita III (1978-1983)
Pada era ini, angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) terbilang tinggi. Namun ada yang berhasil secara signifikan, yakni program KB. Tingkat kesuburan turun, angka kelahiran turun dari 2,7% menjadi 2%. Selain itu, ada beberapa program mulai berjalan yaitu Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD), Posyandu, dan Penyuluhan Kesehatan.
Tahun 1990-an
Pada tahun 1993 larangan merokok mulai dilarang. Ada kewajiban bagi produsen rokok untuk mencantumkan tulisan bahaya merokok di kemasan produk. Dalam penanganan HIV, salah satunya adalah kampanye untuk tidak diskriminasi terhadap penyandang HIV. Kemudahan dalam mendapatkan obat, difasilitasi pemerintah dengan peluncuran obat Generik. Gizi masyarakat ditingkatkan melalui berbagai program seperti GAKI Iodium, tablet tambah darah untuk anemia, zat besi, pemberian kapsul Vitamin A dan Energi Protein.
Pada tahun 1995, diluncurkan program Pekan Imunisasi Nasional yang mendapat sambutan dari masyarakat. Tujuan utama program PIN ini agar anak Indonesia terbebas dari polio.
Paradigma Sehat (1998 – 2009)
Jika tahun-tahun sebelumnya membangun kesehatan berarti memerangi penyakit dan menyembuhkan penderita, maka di era Paradigma Sehat, pembangunan kesehatan berorientasi pada visi baru Indonesia: Visi Indonesia Sehat 2010, dimana masyarakat Indonesia mampu mencegah penyakit. Dengan demikian diharapkan masyarakat sehat secara mental, fisik, spiritual, dan lingkungannya.
Tahun 2005- 2014
Pembangunan kesehatan telah sejalan dengan visi kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan. Visi Kementerian Kesehatan tahun 2010 – 2014 ini adalah “Mewujudkan Masyarakat yang Mandiri dan Berkedaulatan.” Sedangkan fokus pembangunan kesehatan adalah meningkatkan akses masyarakat ke pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu. Untuk mewujudkan visi kabinet tersebut, Kemenkes telah merumuskan visi, misi, nilai-nilai, strategi, sasaran serta program prioritasnya.
Beberapa program yang diluncurkan yaitu: Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkeskas); Desa Siaga, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dilaksanakan juga berbagai penanganan seperti: Flu Burung, Imunisasi, DTPK, PDBK dan Eradikasi Polio.
Pencapaian yang membanggakan terulang di era ini. Sertifikat bebas polio diberikan oleh WHO untuk Indonesia. Dulu di tahun 1974, Indonesia dinyatakan bebas cacar.
Tahun 2015-2019
Kini pembangunan kesehatan dilanjutkan di era kabinet Jokowi. Pembangunan kesehatan tidak lagi bervisi nasional, tetapi juga bervisi global. Pada era millenium ada visi yang disebut Millenium development goals (MDGs) yang ditargetkan selesai tahun 2015. MDGs memiliki delapan target pembangunan, antara lain: menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; mencapai pendidikan dasar untuk semua; mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Kenyataannya setelah mencapai titik tahun 2015, pencapaian Indonesia masih jauh di bawah target. Misalnya angka kematian ibu, belum memenuhi target 2015. Namun sudah ada penurunan jika dibandingkan sebelumnya.
Indonesia harus terus berjuang dengan misi global baru setelah MDGs, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam misi SDGs terdapat 17 tujuan yang terbagi ke dalam 169 target dan kurang lebih 300 indikator dalam tiga dimensi, yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi. Ketujuh belas tujuan itu adalah:
- Tanpa Kemiskinan: Tidak ada kemiskinan dalam bentuk apapun di seluruh penjuru dunia.
- Tanpa Kelaparan: Tidak ada lagi kelaparan, mencapai ketahanan pangan, perbaikan nutrisi, serta mendorong budidaya pertanian yang berkelanjutan.
- Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan: Menjamin kehidupan yang sehat serta mendorong kesejahteraan hidup untuk seluruh masyarakat di segala umur.
- Pendidikan Berkualitas: Menjamin pemerataan pendidikan yang berkualitas dan meningkatkan kesempatan belajar untuk semua orang, menjamin pendidikan yang inklusif dan berkeadilan serta mendorong kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang.
- Kesetaraan Gender: Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum ibu dan perempuan.
- Air Bersih dan Sanitasi: Menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua orang.
- Energi Bersih dan Terjangkau: Menjamin akses terhadap sumber energi yang terjangkau, terpercaya, berkelanjutan dan modern untuk semua orang.
- Pertumbuhan Ekonomi dan Pekerjaan yang Layak: Mendukung perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, lapangan kerja yang penuh dan produktif, serta pekerjaan yang layak untuk semua orang.
- Industri, Inovasi dan Infrastruktur: Membangun infrastruktur yang berkualitas, mendorong peningkatan industri yang inklusif dan berkelanjutan serta mendorong inovasi.
- Mengurangi Kesenjangan: Mengurangi ketidaksetaraan baik di dalam sebuah negara maupun di antara negara-negara di dunia.
- Keberlanjutan Kota dan Komunitas: Membangun kota-kota serta pemukiman yang inklusif, berkualitas, aman, berketahanan dan bekelanjutan.
- Konsumsi dan Produksi Bertanggung Jawab: Menjamin keberlangsungan konsumsi dan pola produksi.
- Aksi Terhadap Iklim: Bertindak cepat untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya.
- Kehidupan Bawah Laut: Melestarikan dan menjaga keberlangsungan laut dan kehidupan sumber daya laut untuk perkembangan pembangunan yang berkelanjutan.
- Kehidupan di Darat: Melindungi, mengembalikan, dan meningkatkan keberlangsungan pemakaian ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan, mengurangi tanah tandus serta tukar guling tanah, memerangi penggurunan, menghentikan dan memulihkan degradasi tanah, serta menghentikan kerugian keanekaragaman hayati.
- Institusi Peradilan yang Kuat dan Kedamaian: Meningkatkan perdamaian termasuk masyarakat untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses untuk keadilan bagi semua orang termasuk lembaga dan bertanggung jawab untuk seluruh kalangan, serta membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di seluruh tingkatan.
- Kemitraan untuk Mencapai Tujuan: Memperkuat implementasi dan menghidupkan kembali kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Dari 17 tujuan tersebut terdapat empat poin penting yang menjadi perhatian khusus sektor kesehatan, yaitu:
- Poin 2: Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong pertanian yang berkelanjutan.
- Poin 3: Menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia.
- Poin 5: Menjamin kesejahteraan gender serta memberdayakan seluruh wanita dan perempuan.
- Poin 6: Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air serta sanitasi yang berkelanjutan bagi semua orang.
Dalam mencapai tujuan global berkelanjutan di sektor kesehatan yang tercermin dalam 4 poin tersebut, Kementerian Kesehatan Indonesia telah merumuskan beberapa sasaran dan menetapkan indikator kesuksesannya. Hal ini telah tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.
Peningkatan Gizi Masyarakat
Peningkatan gizi yang pertama, indikatornya ditunjukkan oleh angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Angka kematian ibu ditargetkan pemerintah akan menurun dari 3559/100.000 kelahiran menjadi 70/100.000 kelahiran di tahun 2030. Selama ini kematian ibu yang baru melahirkan dikarenakan kualitas pelayanan kesehatan ibu yang belum memadai, kondisi ibu hamil yang tidak sehat dan faktor determinan lainnya.
Penyebab utama kematian ibu yaitu hipertensi dalam kehamilan dan perdarahan setelah melahirkan (post partum). Penyebab ini dapat diminimalisasi apabila kualitas Antenatal Care dilaksanakan dengan baik. Selain itu, pemberian tablet tambah darah, pemberian makanan tambahan, dan pengadaan kelas hamil juga telah dicanangkan untuk mengurangi angka kematian ibu. Namun, pada kenyataannya, masih jarang yang mengetahui tentang kelas hamil ini, sehingga masyarakat kurang teredukasi tentang masalah kehamilannya, harus berbuat apa untuk memberdayakan dirinya selama kehamilan, setelah melahirkan harus seperti apa. Masyarakat Amerika Serikat sudah familiar dengan kelas kehamilan dan istilah doula (tenaga non medis pendamping persalinan). Mungkin ini patut dicontoh, misalnya tidak hanya memberdayakan puskesmas, tetapi juga harus ada kerja sama dengan pihak swasta. Dengan demikian, ibu hamil tahu nutrisi apa yang dibutuhkan, gerakan-gerakan yang bermanfaat untuk proses persalinan, sampai tentang ASI. Biasanya ibu-ibu minim sekali pengetahuan tentang ASI, karena kelas hamil hanya membahas tentang kehamilan saja.
Dalam 5 tahun terakhir, Angka Kematian Neonatal (AKN) tetap sama yakni 19/1000 kelahiran, sementara untuk Angka Kematian Pasca Neonatal (AKPN) terjadi penurunan dari 15/1000 menjadi 13/1000 kelahiran hidup, angka kematian anak balita juga turun dari 44/1000 menjadi 40/1000 kelahiran hidup. Penyebab kematian pada kelompok perinatal disebabkan oleh Intra Uterine Fetal Death (IUFD) sebanyak 29,5% dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 11,2%, ini berarti faktor kondisi ibu sangat berpengaruh. Kembali lagi pada edukasi ibu selama hamil dan pemberian makanan tambahan tinggi protein sangatlah penting.
Kejadian balita kurus (wasting) pada tahun 2013 sebesar 12,1%. Pemerintah menargetkan persentase ini akan turun menjadi 5% pada 2025. Untuk gizi bayi pada 1000 hari pertama kehidupannya, nutrisi setelah lahir perlu diperhatikan, yaitu hanya ASI selama 6 bulan pertama yang disebut ASI Eksklusif. Pemerintah menargetkan ASI Ekslusif dan inisiasi menyusui dini menjadi 50% di tahun 2019.
Kenyataannya banyak hambatan untuk bisa ASI Eksklusif. Edukasi memang sangat diperlukan, terutama bagi ibu hamil. Mereka harus tahu bahwa di balik ASI yang seolah-olah tidak keluar di hari pertama bayi lahir sebenarnya ada kolostrum yang tak terasa mengalir dalam jumlah yang sangat sedikit. Namun, bayi bisa bertahan selama 3 hari tanpa tambahan makanan lain. Di sinilah lingkaran setan dimulai. Saat si ibu panik ASI tidak keluar, kemudian bidan atau tenaga kesehatan lain yang biasanya ditarget oleh perusahaan susu, menawarkan susu formula pada ibu. Pemerintah harus mengeluarkan sanksi untuk tenaga kesehatan seperti ini. Dan peraturan di fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit harus disosialisasikan dengan baik agar menjadi fasilitas yang ramah ibu dan ramah bayi. Jika bayi sudah tercemar susu formula, maka ASI tidak terangsang keluar, dan inilah yang akan dijadikan alasan kebanyakan ibu tidak bisa memberi ASI. Selain sanksi pada tenaga medis yang menghambat ASI eksklusif, pemerintah juga harus mengeluarkan peraturan cara pembelian susu formula. Indonesia patut mencontoh luar negeri, dimana susu untuk bayi harus diresepkan dokter.
Cuti melahirkan di Indonesia adalah 3 bulan. Untuk pemenuhan ASI eksklusif tidak perlu menunggu aturan cuti 6 bulan, tetapi berilah peraturan kelonggaran ibu bekerja untuk memompa ASI. Misalnya aturan istirahat atau pemberian kesempatan untuk memompa ASI setiap 2 jam sekali. Selain itu, penambahan fasilitas menyusui di ruang publik diadakan, misalnya dengan mencanangkan peraturan kewajiban ruang menyusui di setiap instansi.
Sistem Kesehatan Nasional
Kehidupan yang sehat dinilai dari bebas penyakit menular maupun tidak menular. Untuk penyakit menular, diprioritaskan pada penyakit HIV/AIDS, tuberculosis (TBC), malaria, demam berdarah, influenza dan flu burung. Tingkat kasus penyakit HIV/AIDS terus meningkat pada usia 15-49 tahun. Pada awal tahun 2009, prevalensi kasus HIV pada penduduk usia 15 – 49 tahun hanya 0,16% dan meningkat menjadi 0,30% pada tahun 2011, meningkat lagi menjadi 0,32% pada 2012, dan terus meningkat manjadi 0,43% pada 2013. Angka CFR AIDS juga menurun dari 13,65% pada tahun 2004 menjadi 0,85 % pada tahun 2013.
Pemerintah juga masih berjuang mengendalikan penyakit neglected diseases seperti kusta, filariasis, leptospirosis, dan lain-lain. Angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti polio, campak, difteri, pertusis, hepatitis B, dan tetanus baik pada maternal maupun neonatal sudah sangat menurun. Pada tahun 2014 Indonesia sudah mendapat sertifikat bebas polio.
Penyakit tidak menular utama meliputi hipertensi, diabetes melitus, kanker dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jumlah kematian akibat rokok terus meningkat dari 41,75% pada tahun 1995 menjadi 59,7% di 2007. Rokok telah menjadi gaya hidup yang konsumtif. Bukan bagi orang kaya saja. Menurut survei ekonomi nasional 2006 disebutkan penduduk miskin menghabiskan 12,6% penghasilannya untuk konsumsi rokok. Untuk masalah rokok ini kini ada kewajiban peringatan yang lebih menyeramkan melalui visualisasi organ terinfeksi kanker di kemasan rokok. Beberapa public figure dan cancer survivor dilibatkan dalam kampanye anti rokok agar banyak yang sadar. Peraturan pemerintah seperti Pemda juga sudah dilibatkan untuk melarang merokok di ruang publik. Sayangnya, peraturan itu hanya ada di segelintir kota-kota besar. Kota-kota kecil bahkan yang terpencil tidak ada peraturan ini.
Untuk penyakit-penyakit gaya hidup seperti hipertensi, asam urat, kanker, diabetes melitus pemerintah mulai berorientasi pada pencegahan. Hal ini nampak pada kampanye Hari Kesehatan Nasional yang menyampaikan pesan penting, yang diantaranya makan makanan seimbang, dan gerak yang cukup. Dilihat pada kenyataannya penyakit gaya hidup ini disebabkan karena pola makan yang tidak sehat dan kurang olah raga. Hanya saja, jangan sampai kampanye sehat seperti ini euphorianya hanya berlaku di ibukota-ibukota saja (dibuktikan dengan adanya perayaan berupa seminar dan event-event seru lainnya). Kampanye sehat ini harus terasa sampai pelosok pedalaman.
Selain penyakit fisik, juga ada penyakit jiwa. Penyakit jiwa ini juga bisa berdampak pada kesehatan fisik. Data dari Riskesdas tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosional (gejala-gejala depresi dan ansietas), sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas. Berarti terdapat lebih dari 14 juta jiwa penderita gangguan mental emosional di Indonesia. Sedangkan untuk gangguan jiwa berat seperti gangguan psikosis, prevalensinya adalah 1,7 per 1000 penduduk. Hal ini berarti lebih dari 400.000 orang menderita gangguan jiwa berat (psikotis). Pada tahun 2012 ditemukan bahwa angka bunuh diri sekitar 0.5 % dari 100.000 populasi, ini berarti kurang lebih 1.170 kasus bunuh diri dilaporkan dalam satu tahun. Hal yang terutama untuk kesehatan jiwa adalah mengembangkan Upaya Kesehatan Jiwa Berbasis Masyarakat (UKJBM) yang ujung tombaknya adalah Puskesmas dan bekerja bersama masyarakat, mencegah meningkatnya gangguan jiwa masyarakat.
Pentingnya Akses dan Pelayanan Kesehatan
Penanganan penyakit fisik menular dan tidak menular, serta penyakit jiwa erat kaitannya dengan akses dan kualitas pelayanan kesehatan. Pemerintah merencanakan peningkatan jumlah Puskesmas dan Rumah Sakit Umum sampai ke daerah terpencil beserta tenaga medis yang kompeten. Setidaknya Puskesmas ynag memiliki lima jenis tenaga medis yang awalnya 1.015 ditingkatkan menjadi 5.600 pada tahun 2019. Rumah Sakit Umum Kabupaten Kelas C yang memiliki 7 dokter spesialis ditargetkan meningkat dari 25% menjadi 60% di tahun 2019. Tak hanya mengenai jumlah, kemampuan para tenaga kesehatan juga ditingkatkan melalui pelatihan.
Menurut saya, pelatihan dan magang memang perlu. Namun pintar saja tidak cukup untuk memuaskan pasien. Fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit harus memerhatikan:
- Kebersihan. Kebersihan merupakan pertimbangan pasien untuk memilih fasilitas kesehatan. Coba bandingkan rumah sakit yang kumuh dengan rumah sakit yang berasitektur moderen. Bahkan beberapa orang yang mampu lebih memilih berobat ke Singapura atau China daripada di rumah sakit dalam negeri.
- Kecepatan Administrasi. Cepat lambatnya mengurus administrasi, agar tidak bertele-tele, dilempar kesana kemari hanya untuk mengurus administrasi harus dipertimbangkan.
- Keramahan. Tenaga medis baik perawat, bidan, dokter selain kemampuannya yang kompeten, harus diimbangi dengan keramahan. Entah sudah standar atau bukan, dokter di UGD atau pelayanan kelas bawah biasanya lebih galak. Pasien perlu dihibur karena penyakitnya, bukan disalahkan, apalagi diperlakukan semena-mena. Saya pernah mendengar cerita pasien gangren yang luka kakinya menetes-netes, tidak diperlakukan dengan baik, malah dimarahi karena mengotori lantai dan kakinya dihempaskan ke dalam keranjang sampah untuk mencegah darahnya tidak berceceran. Pasien yang agak bandel misal tidak melakukan saran dokter dengan benar dimarahi terang-terangan, dan masih banyak kasus lainnya.
Kemudian tentang obat, pada periode 2010-2014, telah dimulai upaya perbaikan manajemen logistik obat dan vaksin, misalnya penerapan e-catalog dan inisiasi e-logistic obat. Adanya sistem ini bisa memantau ketersediaan obat secara real time dan manajemen yang lebih mudah. Pada tahun 2013, e-catalog telah dimanfaatkan oleh 432 Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota dan rumah sakit pemerintah, serta menghemat anggaran penyediaan obat hingga sebesar 30%. Sedangkan e-logistic telah dipakai oleh 405 instalasi farmasi Kabupaten/Kota.
Kebutuhan nasional akan obat sekitar 90%-nya diproduksi dalam negeri. Hanya saja, kita belum mandiri sepenuhnya karena bahan baku yang digunakan masih impor. Angka impor bahan baku farmasi itu cukup tinggi, yaitu 96%. Sebenarnya, kita memiliki bahan alam yang berlimpah. Kita harus bisa lebih intens memperbanyak penelitian dan pengembangan tanaman obat serta obat tradisional.
Kesejahteraan Gender dan Pemberdayaan Wanita
Tujuan kesejahteraan gender di bidang kesehatan ini dicerminkan dengan menghilangkan praktik-praktik berbahaya. Misalnya pernikahan anak, pernikahan dini, dan terpaksa. Pemerintah mengadakan edukasi melalui Puskesmas tentang kesehatan reproduksi. Edukasi ini ditargetkan akan meningkat menjadi 45% pada tahun 2019 dari yang awalnya 21% pada tahun 2014.
Ketersediaan Air Bersih dan Sanitasi
Pada tahun 2010 proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air layak minum adalah 45,1%. Terjadi peningkatan di tahun 2013 menjadi 59,8%. Sedangkan akses sanitasi dasar yang layak pada tahun 2013 adalah 66,8%. Hal ini berarti ada peningkatan 55,5% dari tahun 2010. Demikian juga dengan pengembangan desa yang melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) sebagai upaya peningkatan penyehatan lingkungan, capaiannya terus mengalami peningkatan.
Perlu ada edukasi merata tentang pengelolaan sampah dan limbah, dengan prinsip 3R (reuse, reduce, recycle). Prinsip pengelolaan sampah yang benar akan menciptakan lingkungan yang sehat sehingga air tidak tercemar. Hal ini terkait erat dengan ketersediaan air bersih. Prinsip 3R ini sudah dijalankan di kota-kota tertentu. Tetapi masih ada saja yang belum sempurna. Keaktifan di PKK sangat berpengaruh pada program ini. Sayangnya tidak semua tingkat RT melaksanakannya. Misalnya dalam perumahan yang sama ada RT yang melaksanakan pemisahan sampah dan program daur ulang sampah organik menjadi kompos, namun di RT lain dalam perumahan tersebut tidak menerapkan. Bahkan di perumahan yang lebih elit, pengelolaan sampah tidak begitu diperhatikan. Di  kota kecil atau bahkan pedesaan, masyarakat yang rumahnya dekat dengan sungai setiap harinya membuang ke sungai selama bertahun-tahun.
Begitu banyak ‘PR’ yang harus dikerjakan pemerintah untuk menyejahterakan penduduknya yang tersebar di wilayah seluas 1,9 juta km2 ini. Mari kita bantu dengan kesadaran akan kesehatan diri sendiri dan keluarga. Jangan lupa makan makanan sehat dengan gizi seimbang, konsumsi sayur dan buah setiap hari, lakukan aktivitas fisik atau olah raga teratur, jaga kebersihan, serta cek kesehatan dengan rutin.
Sumber:
http://promkes.depkes.go.id/
http://www.globalgoals.org/id/
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Kesehatan Dalam Kerangka Sustainable Development Goals. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta.
Posted on: November 10, 2016, by : li partic
Tak terasa sudah 52 tahun ga mba sejak hari kesehatan nasional dicanangkan Pam Soekarno. Dan hari ini kesehatan masyarakat belum 100 persen dalam kondisi baik. Semoga pemerintah dan pihak terkait termasuk masyarakat bisa sama2 bertekad mewujudkan indonesia sehat ya.
Aamiin. Semoga mbak ^_^