Orang Tua Merokok Bisa Sebabkan Stunting Pada Anak
Memang cukup menggelitik ketika mendengar orang tua yang merokok tapi anaknya bisa berisiko menjadi stunting. Seperti tidak masuk akal. Bagaimana bisa?
Baiklah, mari kita mengenal dulu apa itu stunting. Stunting adalah keadaan seseorang yang gagal tumbuh secara normal akibat kurang gizi kronis, sehinggga mengakibatkan perawakan terlalu pendek tidak sesuai standar usianya. Kekurangan gizi ini terjadi mulai 1000 hari kehidupan pertama, yaitu sejak dalam kandungan sampai 2 tahun setelah kelahirannya. Namun gejalanya baru tampak setelah anak berumur 2 tahun.
Stunting tidak hanya terkait pada perawakan pendek saja. Sebenarnya, stunting ini sangat merugikan pribadi orang yang mengalami stunting itu sendiri baik di saat sekarang sampai masa depannya, yaitu sebagai berikut.
- Tingkat kecerdasan di bawah rata-rata. Umumnya anak stunting memiliki IQ rendah, karena cabang-cabang otaknya pendek dan tidak terhubung antar sel. Berbeda dengan otak normal yang cerdas, memiliki banyak cabang.
- Rentan terhadap penyakit. Karena keadaaan yang kurang gizi, penderita stunting sering terserang penyakit.
- Di masa depan bisa menurunkan produktivitas yang akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan meningkatkan ketimpangan.
Ternyata angka stunting di Indonesia menduduki peringkat terparah di antara negara-negara ASEAN. Berdasarkan asesmen yang dilakukan pada tahun 2012, OECD PISA (Organization for Economic Cooperation and Development – Programme for International Student Assessment), Indonesia berada di urutan ke 64 terendah dari 65 negara. Asesmen ini dilakukan terhadap 510.000 pelajar usia 15 tahun dari 65 negara termasuk Indonesia, dalam bidang membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan.
Bagaimana persentase prevalensi stunting di Indonesia sendiri? Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, angka kejadian stunting nasional mencapai 37,2 persen. Sebanyak 9 juta anak dari total jumlah anak di Indonesia mengalami stunting. Pada tahun-tahun selanjutnya angka stunting menurun, tetapi pada tahun 2017 kembali terjadi kenaikan. Menurut hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2017 angka stunting di Indonesia menjadi 29,6%. Yang jelas, persentase stunting tersebut masih di atas toleransi yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). WHO menetapkan toleransi stunting maksimal sebesar 20% dari jumlah anak di suatu negara.
Penyebab Stunting
Sebenarnya apa penyebab stunting? Secara umum, stunting diakibatkan karena kekurangan gizi sehingga tubuh gagal tumbuh. Namun secara khusus, banyak faktor yang berperan misalnya:
- Ibu sangat kurang pengetahuan tentang gizi dan kesehatan baik sebelum maupun selama masa kehamilan.
- Bayi tidak mendapat ASI eksklusif saat berumur 0-6 bulan. Hal ini terjadi pada 60% bayi pada rentang usia tersebut.
- Sebanyak 2 dari 3 anak usia 6-24 bulan tidak mendapat MPASI yang tepat.
- Ibu hamil mengalami anemia. Hal ini terjadi pada 1 dari 3 ibu hamil. Bahkan 2 dari 3 ibu hamil belum mengonsumsi suplemen zat besi yang cukup.
- Kurangnya akses ke makanan bergizi karena terkendala makanan bergizi itu mahal.
Lantas, apakah benar kekurangan gizi erat kaitannya dengan rokok sehingga menyebabkan stunting? Awalnya, saya juga penasaran dan setengah tak percaya. Tetapi pada Rabu, 25 Juli 2018 lalu saya mendengar talkshow Program Radio Ruang Publik KBR di KBR.id tentang serial #RokokHarusMahal. Entah kenapa di website KBR.id maupun live facebook, streamingnya tidak muncul. Tak putus asa, saya segera mengunduh aplikasi KBR Radio di Playstore. Setelah unduhan beres, langsung pencet aplikasinya lalu terdengarlah suara siaran yang sangat jernih.
Talkshow yang bertajuk “Rokok Murah Sumbang Penyebab Stunting” itu menghadirkan dua narasumber, yaitu dr. Bernie Endyarni Medise,SpAK MPH selaku Ketua Satuan Tugas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Teguh Dartanto, PhD, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
https://www.instagram.com/p/Blnf8GLHrOF/?taken-by=lipartic
Rokok Berisiko Menyebabkan Stunting
Selama talkshow memang ada pendengar yang meragukan pernyataan rokok bisa sebabkan stunting. Karena pada kenyataannya, yang pendengar itu lihat, anak si perokok bisa tumbuh normal, bahkan tinggi-tinggi. Hal ini juga didukung oleh jurnal yang saya baca, terbitan tahun 2017 yang berjudul “Konsumsi Rokok dan Tinggi Badan Orang Tua sebagai Faktor Risiko Stunting Anak Usia 6-24 Bulan Di Perkotaan”, yang penelitiannya dilakukan oleh Siska Puspita Sari. Penelitian tersebut dilakukan di Yogyakarta dengan cakupan hanya 3 Posyandu (Umbulharjo, Tegalrejo dan Kotagede) selama satu waktu. Artinya peneliti hanya mengobservasi anak dengan rentang usia tersebut saat itu juga. Hasilnya tidak ada hubungan bermakna antara konsumsi rokok orang tua (postnatal) dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kota Yogyakarta karena lebih dominan faktor prenatal.
Penelitian yang hanya dilakukan dalam satu waktu tentu saja berbeda dengan penelitian yang dilakukan bertahun-tahun seperti yang dilakukan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI). Kepala Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI sekaligus penanggung jawab penelitian tim riset PKJS, Teguh Dartanto, PhD melakukan pengamatan pada berat badan dan tinggi anak-anak (<= 5 tahun) pada 2007, kemudian melacak mereka pada 2014 secara berurutan untuk mengamati dampak perilaku merokok orang tua dan konsumsi rokok pada stunting.
Penelitian PKJS-UI tersebut menyatakan bahwa anak-anak yang serumah dengan orang tua yang tidak merokok akan tumbuh 1,5 kg lebih berat dan 0.34 cm lebih tinggi daripada mereka yang tinggal dengan orang tua perokok kronis. Ini menunjukkan bahwa perokok aktif cenderung memiliki probabilitas anak-anak berperawakan pendek. Angka probabilitas mengalami stunting sebesar 5,5% lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari orang tua bukan perokok. Tentu saja faktor genetik dan lingkungan dari anak juga diperhitungkan.
Masih belum percaya juga? Mari kita lihat film dokumenter yang merupakan kisah nyata berikut. Anak dari seorang pecandu rokok hanya memiliki berat badan 9 kg di usianya yang ke-3.
Hubungan Antara Rokok dan Stunting
Menurut dr Bernie, rokok berperan menyumbang tingginya angka stunting karena dua hal, yaitu:
- Alokasi belanja makanan bergizi teralihkan karena harus belanja rokok.
- Zat Rokok itu sendiri
Alokasi Belanja Makanan Bergizi Teralihkan Karena Harus Belanja Rokok
Rokok sudah menjadi kebutuhan dasar sama halnya dengan sembako seperti beras, telur, minyak. Tak hanya di Indonesia, hal ini juga terjadi di belahan dunia lain. WHO menyatakan bahwa pada 2015 kira-kira ada sebanyak 1,1 miliar perokok di seluruh dunia. Dari jumlah itu, sekitar 800 juta lebih atau 80 persen berasal dari negara dengan pendapatan rendah dan menengah, sisanya 20 persen dari negara kaya. Yang mencengangkan di Indonesia, keluarga miskin rela membakar 15% pendapatannya untuk membeli rokok.
Apalagi dalam penelitian yang dilakukan PKJS-UI menunjukkan bahwa konsumsi rokok sekitar 3,6% pada 1997 telah melonjak menjadi 5,6% pada 2014, sedangkan konsumsi kebutuhan lainnya menurun secara signifikan. Artinya, peningkatan konsumsi rokok sekitar dua persen telah digantikan oleh penurunan pengeluaran beras, protein, dan sumber lemak, serta pendidikan. Belanja untuk kebutuhan pangan seperti daging dan ikan juga menurun sekitar 2,3% selama 1997-2014. Padahal, jenis belanja makanan bergizi seperti protein dalam daging maupun ikan akan memengaruhi perkembangan masa depan anak-anak dalam hal berat badan, tinggi badan, dan kemampuan kognitif. Dengan demikian, rokok secara langsung menggusur kepentingan belanja bahan makanan bergizi sehingga dapat menyebabkan anak stunting.
Bahaya Zat Rokok Terhadap Stunting
1. Zat kimia dalam rokok mengganggu pertumbuhan janin
Contoh zat kimia yang berbahaya bagi pertumbuhan janin adalah nikotin, karbon monoksida, dan kadmium. Nikotin dapat mengakibatkan pembuluh darah ibu menyempit sehingga terjadi penurunan aliran darah ke plasenta dan menyebabkan berkurangnya kiriman oksigen dan nutrisi untuk janin. Karbon monoksida (CO) dalam rokok mengikat hemoglobin (Hb) lebih kuat dibanding oksigen sehingga oksigen yang dihantarkan ke jarigan akan berkurang. Sedangkan kadmium dalam asap rokok berkumpul dalam plasenta dan memengaruhi pertumbuhan janin. Asap rokok juga mengganggu terbentuknya pembuluh darah baru, yang sangat penting untuk perkembangan saraf dan organ lainnya.
2. Asap rokok menghambat pertumbuhan anak
Rokok bisa mengacaukan penyerapan zat gizi esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak yang terpapar asap rokok akan menjadi sangat kurus (severe wasting), berat badannya menjadi sangat rendah (severe underweight), dan sangat pendek (severe stunting).
3. Zat dalam asap rokok berbahaya bagi bayi yang masih menyusui
Ibu yang menghisap asap rokok baik secara aktif maupun pasif, akan menyerap zat nikotin dengan cepat dari saluran pernapasan ke aliran pembuluh darah ibu dan langsung ditransfer ke ASI dengan cara difusi. Selain itu, secara langsung, asap rokok yang mengandung ribuan racun lainnya masuk ke saluran pernapasan bayi. Zat rokok yang terakumulasi lewat ASI dan saluran pernapasan bayi tersebut bisa menyebabkan gangguan pernafasan, infeksi paru dan telinga, muntah, diare, denyut jantung meningkat, gangguan pertumbuhan, hingga kolik (gangguan pada saluran pencernaan bayi) sehingga bisa saja bayi menjadi stunting.
Selain itu, penelitian di Santiago, Chili, menunjukkan bahwa asap rokok yang terhirup oleh ibu menyusui dapat menghambat produksi ASI. Jika ASI menjadi sedikit, tentu nutrisi yang sampai pada bayi berkurang. Akibatnya dalam waktu tiga bulan, berat badan bayi dari ibu yang perokok aktif maupun pasif tidak menunjukkan pertumbuhan yang optimal.
4. Asap rokok menyebabkan ISPA sehingga mengakibatkan kurang gizi
Anak dapat mengalami kekurangan gizi karena paparan asap rokok. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi karena rokok, dan ISPA penyebab secara langsung kekurangan gizi. Pengkajian dari 60 penelitian mengungkap paparan rokok pasif di rumah meningkatkan risiko bayi terkena infeksi ini hingga 20-50%, dengan gejala yang cenderung lebih berat. Jika risiko ISPA meninngkat karena paparan asap rokok, maka risiko kekurangan gizi juga meningkat, sehingga lama-kelamaan mengakibatkan stunting.
Saatnya Rokok Harus Mahal untuk Hindarkan Generasi Bangsa dari Stunting
Sebenarnya ada banyak cara untuk menghentikan seseorang dari kebiasaan merokoknya. Salah satu yang telah diusahakan pemerintah adalah mewajibkan gambar seram pada kemasan rokok, misalnya gambar paru-paru hitam yang sudah terinfeksi kanker. Namun, hal itu hanya membuat si perokok bergidik, tapi tak menghentikan kebiasaan merokoknya karena sudah kecanduan jauh.
Harga rokok yang murah juga diduga menjadikan si perokok berpikiran sepele terhadap ancaman bahaya rokok. Lain halnya jika harga rokok ditinggikan. Pasti orang akan berpikir dua kali untuk membelinya.
Hal tersebut sejalan dengan survei Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, Hasibulah Thabrany. Ada hubungan antara harga rokok dan jumlah perokok. Dari 1.000 orang, 72 persennya menyatakan akan berhenti merokok jika harga rokok di atas Rp. 50.000.
Lucunya, saat talkshow di KBR berlangsung ada penelepon yang memang setuju harga rokok mahal. Namun, dia juga mengkhawatirkan nasib sales, buruh, dan petani yang menurun pendapatannya jika rokok tidak laku.
Prof. Thabrany pernah membantah kekhawatiran orang-orang akan pihak-pihak yang akan berkurang pendapatannya. Beliau menyatakan bahwa kenaikan harga rokok tidak akan secara signifikan menurunkan permintaan. Misal, harga naik 20%, penurunan permintaan tidak 20% juga karena biasanya hanya turun 5% sehingga industri tetap untung. Jadi, dengan keuntungan besar yang diperoleh oleh industri ini juga akan berdampak pada kesejahteraan petani, buruh, dan para pekerja lainnya.
Selain itu, jika dilihat dari sisi petani tembakau, harga rokok murah justru akan merugikan petani. Hal ini karena kebutuhan tembakau nasional 40 persennya dipenuhi oleh tembakau impor. Sedangkan rokok kretek yang dibuat petani Indonesia menurun dari 30% di tahun 2010 menjadi 20% pada 2015. Sehingga rokok mahal akan menguntungkan petani lokal juga.
Menurut saya pribadi, harga rokok mahal tidak akan menurunkan jumlah perokok yang sudah kecanduan secara drastis. Mungkin saja perokok berat itu ada yang berusaha berhenti, tapi tetap ada yang berniat untuk lanjut meski harga mahal. Namun, mahalnya rokok ini setidaknya mencegah calon-calon perokok yang biasanya coba-coba sejak remaja. Dimana usia remaja belum punya penghasilan sendiri, sehingga rokok mahal akan mencegah generasi muda untuk merokok.
Bagaimana dengan kamu? Setujukah harga rokok mahal, #Rokok50ribu? Jika setuju, kamu bisa tanda tangani petisi di http://change.org/rokokharusmahal.